Friday, July 25, 2008

Ini Rock Medan Bung !

JAKARTA, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung boleh menghasilkan sejumlah penyanyi dan grup kondang saat ini. Namun, jangan lupa, Medan juga pernah melahirkan sejumlah grup musik pop dan rock yang menentukan peta industri musik Indonesia. Bahkan, beberapa di antaranya menjadi tokoh industri musik, seperti Erwin Harahap dan Rinto Harahap yang pernah menjadi Ketua Umum Asosiasi Industri Musik Indonesia, dan Rinto kemudian menjabat Ketua Umum Yayasan Karya Cipta Indonesia.
Reynold Panggabean dengan Tarantulla-nya menghasilkan lagu-lagu dangdut dengan musik dangdut “fusion”, campuran rock dan jazz, yang mampu menerobos pasar Jepang, Dharma Purba dengan Rhythm Kings-nya menembus Malaysia, Fadil Usman dan Jelly dengan Minstrel’s-nya, atau Rizaldi Siagian dengan The Great Session-nya merupakan kisah kejayaan musik pop dan rock di Medan akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an.
Bersama The Mercy’s maupun Lollypop, Rinto Harahap menjadi pencetak lagu-lagu populer dan melahirkan sejumlah penyanyi pada tahun 1980-an, yaitu Iis Sugianto, Eddy Silitonga, Diana Nasution, Christine Panjaitan, dan Rinto sendiri sebagai penyanyi dengan lagu-lagu Injit-injit Semut, Ayah, dan lain-lain. Reynold Panggabean yang juga adalah penabuh drum The Mercy’s melejitkan Camelia Malik dengan lagu-lagu dangdut bersama Tarantulla. Sementara Rizaldi Siagian yang menjadi ahli musik Tapanuli dan melakukan sejumlah pertunjukan di mancanegara menghasilkan antara lain rekaman lagu Melayu Grenek bersama Rinto Harahap.
Tentu saja masih banyak pelaku lain, seperti grup Freemen yang terdiri dari penyanyi andalannya Yose Tobing, kemudian Destroyers yang dimotori Guntur Simatupang. Masih ada lagi grup rock The Foxus, Amatuer, The Rag Time, Six Men, Grave Men, Copa Tone, Bhineka Nada, Black Spades, Bayangkhara Nada, serta grup wanita D’Sys, Dara Kartika, Marati Sister, dan Rhythm Queens. Atau penyanyi Nur Afni Octavia, Nasution Bersaudara, Armiati, Baby Siregar, Erni Tanjung, Kocik Hasibuan, Kanong Hasibuan, Tirza Tamin, Theo Helena, Tati Mardian, David Simatupang, Alfian Nasution, Syam D’lloyd, dan lainnya.
Kejayaan musik rock di Medan ditandai dengan tiga grup yang sangat bersaing, yaitu Rhythm Kings, Minstrel’s, dan The Great Session. Ketiganya tidak hanya bertarung di atas panggung, tetapi juga di media massa dengan komentar-komentar yang memanaskan telinga. Mereka bertemu di satu panggung pada pertengahan tahun 1974 di Wisma Ria, Jalan Gedung Listrik, Medan, yang dijejali ribuan remaja penggemar musik rock.
Bisa dikatakan, waktu itu Medan menjadi barometer bagi grup maupun penyanyi dari luar kota Medan maupun dari Medan sendiri. Yang berhasil menaklukan penonton Medan berarti dengan mudah menjinakkan penonton di tempat lainnya. Penonton Medan cukup adil karena penyanyi atau grup Medan juga tetap diperlakukan sama. Artinya, jika penampilan mereka tidak memuaskan, mereka tetap “dihukum” dengan teriakan “turun” atau bahkan lemparan berbagai benda ke arah panggung.
Sebenarnya penonton yang dikenal kritis adalah di sekitar Medan, seperti Pematang Siantar, Binjai, Tanjung Balai, dan Tebing Tinggi. Nommensen Hall di Pematang Siantar yang mampu menampung 4.000 penonton selalu menjadi pilihan grup maupun penyanyi dari maupun luar kota Medan. Yang lucu di Asahan, grup mana pun kalau membawakan lagu-lagu rock dianggap lagu grand funk. Meskipun yang mereka dengar adalah lagu-lagu Rolling Stones, Led Zeppelin, Beatles, atau bahkan Bee Gees.
Menapaktilasi musik rock di Medan tentu saja tak bisa terlepas dari seorang sensasional bernama Jelly Tobing. Pria kelahiran Semarang, 20 Oktober 1950, ini memulai kariernya lewat grup Mayadewa (1967), C’Blues, Otista (1969) di Jakarta, kemudian pindah ke Medan bergabung dengan grup Minstrel’s. Sepak terjang Jelly sampai sekarang terlihat di acara Blues Night (TVRI) dan atau membawakan lagu-lagu The Beatles bersama grup Berempat. Untuk urusan lagu-lagu The Beatles ini, sebelumnya Jelly pernah bergabung dengan grup Barata bersama Tato, Harry, dan Abadi Soesman.
Sepak terjang Jelly tidak hanya di Jakarta dan Medan. Dia juga sempat bergabung dengan grup rock Bandung, Giant Step, dan kemudian bersama Deddy Dores dan Deddy Stanzah bertrio dalam Superkids didirikan almarhum Denny Sabri, yang bersama majalah musik Aktuil mementaskan grup Deep Purple tahun 1976 di Stadion Utama, Jakarta.
Yang mengajak Jelly ke Medan pada pertengahan tahun 1973 adalah Fadil Usman, adik kandung penyanyi Ivo Nilakresna. Maka, lahirlah grup Minstrel’s akhir tahun 1973 dengan Jelly Tobing sebagai drumer dan penyanyi, Fadil Usman (gitar), Kris Hutabarat (saksofon, penyanyi), Iqbal Mustafa (keyboard), dan Mamad (bas, penyanyi). Ketika itu sudah ada grup Rhythm Kings yang berdiri tahun 1967 dipimpin Darmawan Purba (gitar), kemudian pada saksofon Darma Purba, Raja Muda (keyboard), Darmawi Purba (bas), dan Yahya (drum).
Grup yang mengandalkan vokalnya pada trio Darma, Darmawan, dan Darmawi ini pada tahun 1972 sudah menghasilkan rekaman lagu-lagu pop, seperti Kasih Bersemi, Permohonanku, Kisah Asmara, Sepatah Kata, dan Permohonan Terakhir. Pada awal tahun 1970-an, lagu rock berlirik bahasa Indonesia baru ditemukan lewat rekaman grup Bandung, Giant Step. Sayang, rekaman ini bergeming di pasar sehingga grup rock lainnya hanya bersedia diproduksi sebuah perusahaan rekaman jika merekam lagu-lagu sweet atau pop. Rhythm Kings termasuk yang paling banyak menghasilkan album rekaman dibandingkan dengan dua saingan beratnya. Dalam usianya yang ke delapan pada tahun 1975, grup ini telah menghasilkan tujuh album termasuk satu album lagu Batak Karo.
Padahal, di atas panggung Rhythm Kings yang mula-mula menggandalkan lagu-lagu hard rock setelah masuk dapur rekaman ternyata lagu-lagu sweet mereka yang berirama melayu juga disukai penonton. Meskipun melakukan hal yang sama dalam rekaman, Minstrel’s dan The Great Session tetap membawakan lagu- lagu hard rock dari Grand Funk Railroad, Iron Butterfly, Rolling Stones, The Beatles, Deep Purple, Emerson Lake and Palmer, Led Zeppelin, Black Sabbath, dan Jimi Hendrix. Fadil Usman bisa dikatakan yang pertama membawakan lagu- lagu Jimi Hendrix bersama Minstrel’snya.
Dengan berdirinya Minstrel’s hadirlah saingan berat Rhythm King dan The Great Session. Rizaldi Siagian yang merupakan drumer terbaik di Medan, begitu Jelly Tobing datang, keduanya berusaha saling mengalahkan. Pertemuan ketiga grup itu di atas panggung di Wisma Ria melibatkan persaingan sesama teknisi dan penonton. Kabel sound system bisa ditemukan putus sehingga gitar atau suara penyanyi tidak kedengaran. Sementara penonton berkelahi karena saling mengejek grup saingan dan menjagokan grup kesayangan mereka.
Selain ketiga grup itu, yang tidak kalah memukau adalah kiprah Guntur Simatupang dari Destroyers dan Yose Tobing dari Freemen, dengan aksi mereka di atas panggung. Yose, misalnya, bisa menyanyi sambil berguling, melompat, dan berlari, seperti yang dilakukan Ucok Harahap dari AKA Surabaya. Guntur pernah membawa 40 ular yang ditangkapnya sendiri ke atas panggung yang mengingatkan pada Mickey Makelbach dari grup Bentoel Malang yang membantai kelinci sambil menyanyi. Saat itu Guntur dijuluki Alice Cooper Medan.
Persaingan grup rock Medan dapat juga dilihat dari jor-joran peralatan musik dan sound system. Setelah AKA dan God Bless tampil dengan peralatan yang termasuk luar biasa waktu itu, grup rock Medan juga tidak mau kalah. Bos Freemen, John Leo, yang lebih dikenal dengan sebutan Ta Long dan mahir mengutak- atik peralatan listrik, meningkatkan kekuatan sound system grup asuhannya sehingga. Akibatnya, ketika Freemen manggung, suara musiknya menggelegar, membuat ciut nyali grup saingannya.
Namun, ketika Rhythm Kings juga menambah gelegar peralatan musiknya justru Freemen yang tenggelam. Tentu saja The Great Session dan Minstrel’s juga tak tinggal diam dalam perlombaan meningkatkan kekuatan infrastruktur panggung. Dengan penambahan kekuatan peralatan suara ini, grup-grup musik itu mulai tampil di arena terbuka Taman Ria. Pada awal tahun 1976 itu, Rhythm Kings, The Great Session, dan Minstrel’s dibayar paling besar. Untuk satu jam manggung mereka masing-masing dibayar Rp 60.000.
Yang lain, seperti D’Sys, Destroyers, Vulture’s, Adventurer’s, dan Exorcist memperoleh honor Rp 35.000-Rp 50.000. Grup dangdut Rp 25.000 dan vokal grup dengan gitar akustik Rp 15.000. Tentu saja bayaran yang diterima grup musik Medan itu jauh dibandingkan dengan rekannya di Jakarta yang sudah menerima ratusan ribu rupiah untuk satu kali manggung. Namun, bagi Rhythm Kings, Minstrel’s, dan The Great Session tidak masalah karena dalam satu minggu mereka bisa manggung dua hingga tiga kali.
Dinamika pertunjukan panggung di Medan ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peran para promotor, seperti Indra dengan Indra Entertainmentnya, yang sukses menggelar pertunjukan AKA. Demikian juga Nyonya Syahniar Syahbudin, bos Minstrel’s, juga merupakan penyelenggara berbagai pertunjukan musik yang konon tak pernah rugi. Nyonya yang gesit ini akrab dengan pers. Jadi, tak heran jika berbagai kegiatannya selalu masuk koran, yang waktu itu merupakan “kompor” persaingan sesama grup musik.
Tentu saja masih ada promotor yang lain seperti Bung Napit, Taruna Said dari Waspada Entertainment yang didukung koran terkemuka Medan, Waspada, yang mendatangkan God Bless. Kemudian Johnny Pardede, yang pernah tinggal beberapa tahun di London, mengisyaratkan akan membawa Rolling Stones ke Medan meskipun tak pernah terwujud. Nama lainnya adalah Arifin Perak dari Pangkalan Brandan dan Toto Dainang dari NV Dainang, perusahaan yang memproduksi minuman RC Cola.
Semaraknya Medan sebagai ajang berbagai pertunjukan musik juga tak terlepas dari kegiatan pertunjukan yang diselenggarakan panitia dari Jakarta. Pesta Musik yang disponsori majalah musik Aktuil tanggal 4 Mei 1975 di Lapangan Medeka Medan diundur hingga seminggu karena hampir bersamaan waktunya diselenggarakan Festival Film Indonesia 1975 yang menjadikan Senyum di Pagi Bulan Desember sebagai film terbaik. Sementara Teguh Karya (sutradara), Tanti Josepha (aktris), dan Slamet Raharjo (aktor) memperoleh Piala Citra, juga sebagai yang terbaik.
Namun, menjelang akhir tahun 1970-an, segala kesemarakan itu menyurut. Bukan saja banyaknya pemusik Medan yang hijrah ke Jakarta, pertumbuhan penyanyi dan grup baru nyaris tidak terlihat. The Mercy’s yang sukses besar di Jakarta enggan kembali ke Medan. Purba bersaudara (Darma, Darmawi, dan Darmawan) lebih memilih sekolah, mereka kemudian menjadi dokter gigi, dokter mata, dan dokter THT. Begitu juga Rizaldi Siagian menekuni studinya hingga menjadi dokter musik. Akibatnya, Rhythm Kings dan The Great Session mengurangi kegiatan untuk akhirnya bubar.
Begitu juga anggota Minstrel’s, seperti Fadil Usman dan Jelly Tobing, memilih tinggal di Ibu Kota ketimbang Medan setelah grupnya tak bisa lagi dipertahankan. Fadil Usman mendirikan grup rock Brotherhood, tetapi tidak bertahan lama. Tahun 1979 dia bergabung dengan Reynold Panggabean dan Camelia Malik sebagai gitaris Tarantulla, petikan gitarnya dominan dalam lagu-lagu Colak Colek, Wakuncar, Gengsi Dong, Aduhai, dan lainnya, yang kemudian populer lagi dibawakan kembali si ratu ngebor Inul Daratista tahun 2003.
Jelly Tobing meneruskan sensasinya. Antara lain dengan melakukan solo drum selama 10 jam nonstop di Ancol, 1 Oktober 1988, dan lapangan sepak bola Persija, Menteng, 29 Juli 1990. Pada tahun 2002, Jelly bahkan sempat menjadi drumer tamu Rhythm Kings dalam sebuah acara reuni grup itu di Medan. Persaingan di masa lalu yang menjurus pada perseteruan tampaknya sudah dilupakan.
Jelly yang kalau dihitung-hitung pernah masuk-keluar sekitar 30 grup musik, kabarnya juga akan mengaktifkan kembali trio Superkids, dengan mengajak serta pemetik gitar bas grup Rollies, Utje F Tekol, sebagai pengganti almarhum Deddy Stanzah. Bahkan, Jelly juga berencana mengganti kedudukan Syech Abidin sebagai penabuh drum dalam reuni AKA bersama Ucok Harahap, Sunatha Tanjung, dan Arthur Kaunang di Surabaya Februari 2005. Di kota buaya ini, Jelly pernah disengat listrik sampai pingsan ketika manggung 20 tahun lalu.
Ketika grup heavy metal Megadeth manggung di Stadion Teladan Medan, 31 Juli 2001, denyut musik rock Medan masih belum terasa. Bukan saja peralatan musik 120.000 watt, lampu 300.000 watt, dan panggung berukuran 18 x 12 x 2 meter yang didatangkan dari Jakarta, sebagai pembuka pementasan Megadeth mestinya grup rock Medanlah yang hadir waktu itu bukan Boomerang.
Promotor Medan yang menonjol saat ini, Ayun Mahrusar, dari C’Blonk Entertaiment menyatakan, Medan sebenarnya tak tinggal diam. Bahkan, Medan sedang berusaha bangkit dan mengikuti jejak Surabaya, Bandung, atau Yogyakarta yang melahirkan grup-grup kondang seperti Padi, Dewa, Jamrud, atau Sheila on 7. Ini rock Medan, Bung! Siapa tahu menggelegar lagi seperti 30 tahun silam. ( Oleh: Theodore KS/ Kompas).

dikutip dari : http://www.batakmusic.com/?p=7