Tuesday, August 14, 2007

Sesuatu tdk selalu kelihatan sebagaimana adanya

Tuan rumah memberikan tempat di sebuah kamar yg kecil dan pengap di basement bawah.
Ketika mereka berdua hendak tidur, malaikat yg lebih tua melihat dinding basement itu retak dan rusak, maka dia membetulkan kerusakan itu.
Malaikat yg muda bertanya mengapa ia melakukan hal itu, malaikat yg tua menjawab " sesuatu tdk selalu kelihatan sebagaimana adanya"

Malam berikutnya kedua malaikat itu beristirahat di rumah seorang petani dan istrinya yg sangat miskin, namun mereka sangat ramah kepada 2 malaikat ini. Setelah mereka membagi makanan yg ia punyai, petani ini mempersilahkan 2 malaikat ini tidur di atas tempat tidur petani ini.
Ketika keesok harinya, 2 malaikat ini menemukan petani dan istrinya sedang menangis sedih,
karena sapi mereka satu2 nya sumber pendapatan mereka terbaring mati.
Malaikat yg muda merasa geram, ia menegur pada malaikat yang lebih tua, " Mengapa kau biarkan hal ini terjadi.??
"keluarga yang pertama memiliki segalanya, tapi engkau menolong menambalkan tembok yg retak, sedang keluarga petani ini tdk memiliki apa2 selain sapi nya, tapi engkau membiarkan sapi mereka mati,?
" Malaikat yang lebih tua menjawab" sesuatu tdk selalu kelihatan sebagaimana adanya,"
"Ketika kita bermalam di tmpt orang kaya itu, aku melihat ada emas yg tersembunyi di balik dinding yang retak itu, karena orang kaya itu tamak dan tdk bersedia membagi hartanya, aku menutup dinding itu, spy dia tdk bisa menemukan emas itu, sedangkan tadi malam ketika kita tidur di rumah petani miskin ini, aku melihat ada malaikat maut yang akan mengambil nyawa istri petani itu, aku memberikan sapi nya agar malaikat maut tdk jadi mengambil nyawa istrinya,"
"sesuatu tdk selalu kelihatan sebagaimana adanya"
kadang2 itulah yang kita rasakan ketika kita berpikir bahwa sesuatu tdk seharusnya terjadi, jika kita memiliki iman, kita hanya perlu percaya sepenuhnya bahwa semua hal yang terjadi adalah demi kebaikan kita, kita mungkin tdk menyadari hal itu sampai saatnya tiba........."

Jadikan setiap masalah yg kita hadapin itu sebagai bentuk pemurnian iman kita, karena Tuhan Yesus tdk pernah menjanjikan kalau mengikut / menjadi muridNya itu terlepas dari segala persoalan dan masalah, tapi Dia menjanjikan kepada kita, sebuah jalan keluar dan sebuah kemenangan.

Sunday, August 5, 2007

It's really really good story...

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang
alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul di perasaan
saya, ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.
Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun dalam
masa pernikahan, saya harus akui, bahwa saya mulai merasa
lelah, alasan- alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi
sesuatu yg membosankan.
Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar
sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat
romantis seperti seorang anak yang
menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan.Rasa
sensitif- nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan
suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua
harapan saya
akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan
keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

"Mengapa ?", tanya suami saya dengan terkejut.

"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta
yang saya inginkan,"jawab saya.

Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di
depan komputernya, tampak seolah-olah sedang
mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya semakin
bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan
perasaannya,
apalagi yang bisa
saya harapkan darinya?

Dan akhirnya suami saya bertanya," Apa yang dapat
saya lakukan untuk merubah pikiran kamu ?"

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan
pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat
menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya akan merubah
pikiran
saya: Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang
ada di tebing gunung. Kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung
itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan memetik bunga
itu untuk saya ?"

Dia termenung dan akhirnya berkata,
"Saya akan memberikan jawabannya besok."

Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya
menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah
sebuah gelas yang berisi susu hangat
yang bertuliskan. ..

"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu
untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya."

Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya.
Saya melanjutkan untuk membacanya.

"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ' teman baik
kamu ' datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan
tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal."

"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu kuatir
kamu akan menjadi aneh'.

Saya harus membelikan sesuatu yang dapat menghibur
kamu di rumah at au meminjamkan lidah saya untuk
menceritakan hal-hal lucu yang saya alami."

"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi,
terlalu dekat membaca buku,dan itu tidak baik untuk
kesehatan mata kamu.

Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua
nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kuku
kamu dan mencabuti uban kamu."

"Tangan saya akan memegang tangan kamu, membimbing
kamu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan
pasir yang indah.

Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah
seperti cantiknya wajah kamu."

"Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga
indah yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati.
Karena, saya tidak sanggup melihat air mata kamu
mengalir menangisi kematian saya."

"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa
mencintai kamu lebih dari saya mencintai kamu.
Untuk itu Sayang, jika semua yang telah diberikan
tangan saya, kaki saya, mata saya tida k cukup buat kamu,
saya tidak bisa menahan kamu untuk mencari tangan, kaki,
dan mata lain yang dapat membahagiakan kamu."

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat
tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk
terus membacanya.

"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca
jawaban saya. Jika kamu puasdengan semua jawaban
ini, dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah ini, tolong
bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri di sana
menunggu jawaban
kamu."

"Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini,
Sayang, biarkan saya masuk untuk membereskan barang- barang
saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu.
Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia."

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya
berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya
memegang susu danroti kesukaan saya.

Oh, kini saya tahu,tidak ada orang yang pernah
mencintai saya lebih dari dia mencintai saya.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah
berangsur- angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa
dia tidak dapat memberikan cinta
dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu
sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita
bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari
pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.

taken from gobatak.com

Takkan Kumaafkan Diriku ini-Berbakti & senangkanlah orang tua kita SEMASA mereka masih hidup…

Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk
Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri saya mengajaknya
tinggal bersama kami di Kuala Lumpur.

"Nggak usah. lain kali saja.!"jawab ayah.

Jawaban itu yang selalu diberikan kepada kami saat mengajaknya pindah.
Kadang-kadang ayah mengalah dan mau menginap bersama kami, namun 2 hari
kemudian dia minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya.

Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan
sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau
dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti
biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya. "Saya sibuk, ayah. Tak boleh
ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. akhir minggu ini saya akan antar ayah,"
balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka. "Biarlah ayah pulang
sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah." katanya yang
membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali pulang naik
bus sendirian.

"Nggak usah saja yah." bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu masuk
ke kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke
kantor, ayah sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus. "Ayah ini
benar-benar nggak mau mengerti yah. saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!" balas
saya terus keluar menghidupkan mobil.

Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya.
Di dalam mobil, istri saya lalu berkata, "Mengapa bersikap kasar kepada
ayah? Bicaralah baik-baik! Kasihan khan dia.!" Saya terus membisu.

Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi
permintaan ayah. "Jangan lupa, bang.. belikan tiket buat ayah," katanya
singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk
keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.

Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. "Bus
berangkat pukul. 14.00," kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap
agak kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala ayah. Ayah
tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia masukkan baju-bajunya kedalam
tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicara sepatah
kata pun.

Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.
Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya pamit
dan terus turun dari bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanya memandang
keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat
melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas meja
dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan teringat ayah yang
sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta
dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun.

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat
pekerjaan di kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat Istri
yang berada di kantornya. Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya
saat istri meminta saya menelpon ayah di kampung seperti yang biasa saya
lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. Malam berikutnya, istri bertanya
lagi apakah ayah sudah saya hubungi. "Nggak mungkin belum tiba," jawab saya
sambil meninggikan suara.

Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. "Ayah
sudah tiada." kata sepupu saya disana. "Beliau meninggal 5 menit yang lalu
setelah mengalami sesak nafas tadi." Ia lalu meminta saya agar segera
pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di
tangan. Istri lalu segera datang dan bertanya, "Ada apa, bang?"
Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata, "Ayah
sudah tiada!!"

Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat itu
saya sadar betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang,
kata-kata saya kepada ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri
mengenai ayah silih berganti menyerbu pikiran.

Hanya Allah yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu. Saya
sangat merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan
perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti
akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua
yang merindukan belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya
buat selama-lamanya.

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya
bagai terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak
dapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir
saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan diri
ini.

Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih
hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti
lagi.

Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka.
Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.

taken from gobatak.com