Jakarta, CNN Indonesia
--
Glory, adik saya yang ketiga, saat duduk di bangku SD dulu sering
bercerita tentang teman-teman yang suka meneriaki sebutan ‘rasis’
kepadanya, yakni tentang Glory yang adalah seorang ‘batak’. Sepulang
sekolah, wajah bersungut-sungut dan cerita tentang ejekan darinya terasa
lucu saja.
Lima tahun berlalu. Batak dengan stigma negatif menjadi biasa, bukan kekhawatiran. Bak angin lalu yang akan terlewat sendiri. Pendapat negatif ataupun positif memang warna-warni yang manusiawi. Persepsi apapun bisa datang dan pergi.
Tapi, masihkah saya bangga menjadi seorang Batak? Ya.. saya memang tidak pernah khawatir, sebagaimana saya berpikir teriakan kanak-kanak lima tahun silam itu adalah candaan belaka. Saya berbahagia dan tidak terpikir stigma apapun sebagai intimidasi. Saya diam dan tidak merasa terganggu. Lingkungan seperti masih memberi ruang keanekaragaman. Tapi apa mungkin itu artinya saya acuh lantas tak berbangga? Tidak.
Lima tahun berlalu. Batak dengan stigma negatif menjadi biasa, bukan kekhawatiran. Bak angin lalu yang akan terlewat sendiri. Pendapat negatif ataupun positif memang warna-warni yang manusiawi. Persepsi apapun bisa datang dan pergi.
Tapi, masihkah saya bangga menjadi seorang Batak? Ya.. saya memang tidak pernah khawatir, sebagaimana saya berpikir teriakan kanak-kanak lima tahun silam itu adalah candaan belaka. Saya berbahagia dan tidak terpikir stigma apapun sebagai intimidasi. Saya diam dan tidak merasa terganggu. Lingkungan seperti masih memberi ruang keanekaragaman. Tapi apa mungkin itu artinya saya acuh lantas tak berbangga? Tidak.