Monday, September 11, 2017

Tentang Batak di Mata Seorang Batak

Jakarta, CNN Indonesia -- Glory, adik saya yang ketiga, saat duduk di bangku SD dulu sering bercerita tentang teman-teman yang suka meneriaki sebutan ‘rasis’ kepadanya, yakni tentang Glory yang adalah seorang ‘batak’. Sepulang sekolah, wajah bersungut-sungut dan cerita tentang ejekan darinya terasa lucu saja.

Lima tahun berlalu. Batak dengan stigma negatif menjadi biasa, bukan kekhawatiran. Bak angin lalu yang akan terlewat sendiri. Pendapat negatif ataupun positif memang warna-warni yang manusiawi. Persepsi apapun bisa datang dan pergi.

Tapi, masihkah saya bangga menjadi seorang Batak? Ya.. saya memang tidak pernah khawatir, sebagaimana saya berpikir teriakan kanak-kanak lima tahun silam itu adalah candaan belaka. Saya berbahagia dan tidak terpikir stigma apapun sebagai intimidasi. Saya diam dan tidak merasa terganggu. Lingkungan seperti masih memberi ruang keanekaragaman. Tapi apa mungkin itu artinya saya acuh lantas tak berbangga? Tidak.

Apakah ADAT itu ?

“Adat” lapatanna : ima hasomalan ni ngolu namarhapantunon (kehidupan bertatakrama).
“Adat Istiadat” ima ngolu hapantunon na nilinggoman ni uhum dohot paraturan namasa/namarlaku ditonga-tonga ni masyarakat. (Kehidupan bertatakrama yang dilindungi oleh hukum dan peraturan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat)

Ia Adat Batak dohot Partuturan di Halak Batak natatean do i sian angka Ompunta sijolo-jolo tubu, asa gabe adong sulu-sulu (petunjuk manang pedoman) di hangoluon ni halak Batak, namangatur ragam ni parsaoran dohot parange asa sude ngolui mardalan dohot denggan jala manuju tu hasonangan. (Adat dan kekerabatan orang Batak diwarisi dari nenek moyang, sebagai pedoman/petunjuk dalam menjalani kehidupan orang Batak, untuk mengatur hubungan dan perilaku antar manusia orang Batak agar kehidupannya berjalan dengan baik dan menyenangkan serta menuju ke kehidupan yang kekal):
Sinur napinahan gabe ma naniula tumpahon ni Tuhanta.

Thursday, June 14, 2012

Paham Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik 1983

1. PERKEMBANGAN PEMAHAMAN Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang Perkawinan Kristiani mengalami perkembangan yang pesat. Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013 dikatakan bahwa tujuan pertama perkawinan adalah mendapat keturunan dan pendidikan anak; sedangkan yang kedua adalah saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami istri dilihat sebagai elemen perkawinan yang esensial. Kodeks baru (KHK 83) dalam Kan 1055,

Monday, April 9, 2012

Sampuraga

Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka. Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh. “Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,”

Wednesday, November 2, 2011

Tilhang Oberlin Gultom, Pendiri Opera Batak

Tilhang Oberlin Gultom, seniman dan pendiri Opera Batak yang dinamai Opera Tilhang (1920-1973). Selama karirnya, pria kelahiran Desa Sitamiang, Pulau Samosir ini telah mencipta 360 lagu, 12 tumba dan 24 judul drama. Setelah sang pendiri meninggal (1973), Opera Tilhang kemudian dilanjutkan para penerusnya dengan Opera Serindo (Seni Ragam Indonesia) sampai 1985. Setelah itu, opera Batak tidak pernah muncul lagi. Bagaimana proses kehadiran opera tradisi Batak yang lebih mirip teater keliling ini, tidak ada catatan pasti. Namun, nama Tilhang Oberlin Gultom selalu dikaitkan sebagai tokoh seniman yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 1920-an. Kala itu, ia menggelar opera ini di pedalaman Tapanuli Utara. Sebutan Opera Batak dipopulerkan oleh Diego van Biggelar, misionaris Belanda yang datang ke Pulau Samosir pada 1930-an. Opera Tilhang mencapai masa keemasannya dari tahun 1960-1973. Setelah sang pendiri sekaligus pemimpin meninggal pada tahun 1973, para penerusnya, di antaranya Abdul Wahab Kasim Samosir (Pimpinan Opera Serindo) dan Zulkaidah boru Harahap, ratu opera Tilhang kala itu, bersama suaminya Pontas Gultom, melanjutkan usaha pertunjukan opera Batak bernama Seni Ragam Indonesia alias Serindo tersebut atas persetujuan seluruh keluarga Tilhang Gultom. Kala itu masih ada sekitar 70 anggota. Opera Serindo yang merupakan penjelmaan Opera Tilhang menggelar pertunjukan keliling dari desa ke desa. Namun hanya mampu bertahan sampai tahun 1985 karena para penontonnya sudah mempunyai banyak pilihan hiburan, mulai dari pertunjukan musik dan artis populer, juga terutama dengan kehadiran televisi sampai pelosok desa. Akhirnya, tahun 1985, grup opera Batak Serindo yang kala itu masih punya 45 anggota, bubar. tokohindonesia.com dikutip dari : http://www.beritaindonesia.co.id/budaya/menghidupkan-lagi-opera-batak